Asas Hakim Pasif dalam Hukum Acara Perdata
- ICT ALSA LC Unsri
- Apr 1
- 2 min read

By : M. Indra Pratama
Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut (vide Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Sedangkan, hukum acara perdata merupakan hukum formil yang mengatur tata cara pelaksanaan dan penegakan hukum materil dalam perkara perdata. Adanya hukum formil untuk memastikan adanya mekanisme hukum yang jelas untuk menyelesaikan sengketa antara individu ataupun badan hukum, serta mencegah tindakan main hakim sendiri saat terjadinya Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Dalam pelaksanaan hukum acara itu sendiri perlu didasari dengan asas-asas yang merupakan inti dari peraturan hukum yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dan landasan pemikiran (ratio legis). Adapun yang membedakan dengan Hukum Acara lainnya ialah “Hakim Bersifat Pasif”, yang memiliki poin artian:
Hakim hanya memeriksa dan mengadili perkara berdasarkan tuntutan yang diajukan oleh para pihak.
Tidak boleh menambah atau mengurangi pokok perkara yang diajukan.
Putusan tidak boleh melebihi tuntutan (Ultra Petita Partium- Pasal 178 ayat (2,3) HIR/ Pasal 189 ayat (2,3) RBg).
Beban pembuktian menjadi tanggung jawab para pihak yang bersengketa, bukan hakim.
Selain itu, keputusan untuk mengajukan upaya hukum seperti verzet, banding, atau kasasi sepenuhnya berada di tangan para pihak, bukan atas inisiatif hakim.
Asas hakim pasif telah dianut sejak lama dalam hukum acara perdata. Namun, dalam praktiknya, terdapat perkembangan yang memungkinkan adanya pengecualian, seperti putusan Mahkamah Agung yang memperbolehkan Ultra Petita dalam kondisi tertentu, asalkan masih sejalan dengan posita atau dasar gugatan yang diajukan.
Maka demikian, meskipun asas hakim pasif tetap menjadi prinsip utama dalam hukum acara perdata, penerapannya tidaklah bersifat mutlak dan dapat disesuaikan dengan kondisi persidangan yang terjadi. Walau pada hakikatnya hakim bersifat pasif, dalam pelaksanaannya hakim tetap aktif dalam menawarkan perdamaian atau mediasi terlebih dahulu, walaupun tidak tercapainya perdamaian pada sidang pertama, hakim akan terus menyarankan para pihak untuk berdamai selama proses persidangan. Dengan demikian, sifat pasif hakim berarti bahwa hakim tidak memiliki kewenangan untuk menentukan atau memperluas pokok sengketa, hakim juga tidak diperbolehkan untuk menambah atau menguranginya, serta pembuktian dibebankan pada para pihak yang menggugat.
Referensi :
Perundang-Undangan:
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Buku:
- Abintoro Prakoso. 2018 Pengantar Hukum Indonesia. LaksBang PRESSindo. Perwakilan Jawa Timur
- Saut P. Panjaitan. 2022. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Erlangga. Palembang.
- H. Ahmaturrahman. 2024. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Edisi Revisi 2024. Universitas Sriwijaya Fakultas Hukum. Indralaya.
Comments