Bewijlast Verdeling atau yang lebih dikenal sebagai beban pembuktian, merupakan salah satu unsur terpenting dalam Hukum Acara Perdata. Menurut Prof. R. Subekti, S.H., membuktikan adalah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di muka persidangan. Maka esensialnya, pembuktian diperlukan apabila ada perselisihan atau sengketa terhadap hal-hal yang tidak dibantah oleh pihak lawan, tidak perlu untuk dibuktikan.
Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian dilakukan oleh para pihak dan bukan oleh Hakim. Hakim akan memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Dengan perkataan lain, hakimlah yang membebani para pihak dengan pembuktian. Asas mengenai pembagian beban pembuktian (Bewijlast Verdeling) ini diatur dalam Pasal 283 RBg atau Pasal 163 HIR atau Pasal 1865 KUHPerdata, dengan isi sebagai: "Barang siapa yang mengakui mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa.
Maknanya, kedua belah pihak (baik Penggugat maupun Tergugat) dapat dibebani dengan pembuktian. Pada asasnya masing-masing pihak diwajibkan membuktikan dalil-dalilnya sendiri, Penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedangkan Tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Asas ini sesuai dengan peribahasa latin yang menyatakan "Affirmandi Incumbit Probatio" yang artinya, "Siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan".
Berbeda dengan apa yang diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang diatur pada Pasal 66 KUHAP yang berbunyi “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.” Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum yang diletakkan beban pembuktian, Ia memiliki kewajiban untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakan dengan mengajukan alat bukti di muka persidangan untuk dinilai kebenarannya oleh Majelis Hakim.
Contoh Bewijlast Verdeling Pada Perkara Perdata:
A (Penggugat) mengugat B (Tergugat) agar B membayar hutang kepada A, maka kepada A dibebankan oleh hakim untuk membuktikan adanya hutang B kepada A, sebab ketika itu A menyatakan bahwa Ia mempunyai hak berupa piutang dari B. Selanjutnya, dimuka sidang B membantah, menurut B adanya hutang di atas kwitansi tersebut bukanlah karena B mempunyai hutang kepada A, akan tetapi karena B dipaksa oleh A untuk membuatnya, maka kepada B dibebankan untuk membuktikan akan kebenaran bantahannya tersebut, karena B ketika itu membantah hak orang lain atasnya. Hal ini sebab pada hakikatnya, yang diharapkan dari seorang hakim adalah memberi pertimbangan tentang benar tidaknya suatu peristiwa atau fakta yang diajukan kepadanya, dan kemudian memberikan atau menentukan hukumnya.
Referensi:
Butarbutar, Elisabeth Nurhaini (2010). Arti Pentingnya Pembuktian dalam Proses Penemuan Hukum di Peradilan Perdata. Jurnal Mimbar Hukum, 22 (2), 347-359.
H. Ahmaturrahman, S.H., M.H. (2024). Hukum Acara Perdata di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Comments