ALSA Legal Aid Team 2022/2023
Pemilu 2019 adalah pemilu pertama yang secara legal-formal dilaksanakan secara serentak antara Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif pada tataran DPR RI, DPD, maupun DPRD. Penyelenggaraan pemilu serentak bukan hal baru di Indonesia. Pada amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), muncul usulan penyelenggaraan pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) dilaksanakan secara bersamaan. Namun hal tersebut tidak terlaksana karena UUD NRI Tahun 1945 hasil amandemen keempat tidak mengatur mengenai pelaksanaan pilpres dan pileg secara serentak. Reformasi 1998 yang turut melahirkan kebebasan untuk mendirikan partai politik kemudian menimbulkan suatu problematika baru yakni sistem presidensial yang dipadukan dengan sistem multipartai. Menjamurnya partai politik di Indonesia pasca refomrasi turut menghasilkan pola persaingan yang sifatnya fundamental sehingga menghasilkan fragmentasi politik cukup kuat hingga merambah terhadap polarisasi kekuatan politik eksekutif dan parlemen. Sistem pemeirntahan presidensial menempatkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, yang mana dalam proses formulasi kebijakan memerlukan dukungan parlemen sebagai konsekuensi dari prinsip separation of power antara eksekutif dan legislatif. Timbul suatu persoalan apabila dalam perumusan kebijakan nantinya, presiden tidak mendapatkan dukungan politik mayoritas di parlemen, maka kedudukan presiden berpotensi akan menjadi goyah karena bayang-bayang partai politik oposisi yang kemungkinan besar setiap saat akan menolak kebijakan yang ditawarkan.
Sistem multipartai dikonstruksi oleh penerapan sistem pemilu proporsional yang menyediakan lebih dari satu kursi per daerah pemilihan yang kemudian mengakibatkan ruang kompetisi antar partai politik lebih longgar. Sedangkan sistem dwipartai dibentuk mellaui sistem mayoritas yang hanya membuka peluang kursi bagi partai besar saja.
Penyelenggaraan pemilu serentak pada April 2019 adalah tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa secara normatif pelaksanaan pilpres dengan rentang tiga bulan setelah pileg tidak sesuai dengan makna pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (1), (2) dan Pasal 6 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Putusan MK ini diddasari oleh dua sudut pandang, yakni original intent Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan penafsiran sistematis Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Sudut pandang Original Intent melihat dasar hukum pelaksanaan pemilu serentak ini pada pengertian pemilu pada Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yakni “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Pengertian pemilu menurut pasal ini menggambarkan bahwa pilpres diselenggarakan dengan Pileg. Selain itu, selain itu, penggunaan penafsiran sistematis atas ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” yang kemudian dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, melalui frasa “sebelum pelaksanaan pemilu” yang dimaksud bukan berarti berkenaan dengan waktu pileg diselenggarakan sebelum pilpres, melainkan diartikan bahwa faktanya calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pilpres.
Pelaksanaan pemilu secara serentak berdampak positif terhadap dukungan legislatif secara mayoritas terhadap eksekutif karena pemungutan suara secara serentak pada hari yang sama mampu mendorong liniaritas atau keselarasan antara pilihan pemilih terhadap partai politik pendukung presiden yang dipilih. Keserentakan pileg dan pilpres juga mampu mendorong terhadap penyederhanaan sistem multipartai yang dianggap sebagai biang kegagalan sistem presidensial multipartai. Oleh sebab itu, penyelenggaraan pemilu serentak mampu menunjukkan ketegasan sistem presidensial yang menempatkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang bersamaan dengan separation of power antara presiden dan parlemen sehingga tercipta hubungan jangka panjang antara presiden dan partai politik di parlemen. Selain itu, pemilu serentak juga diharapkan mampu mengefisiensikan penyelenggaraan pemilu dari segi anggaran dan biaya.
Selain berdampak positif, penyelenggaraan pemilu serentak pada tahun 2019 juga menimbulkan polemik. Pemilu serentak 2019 dengan lima surat suara sekaligus antara pemilihan presiden dengan pemilihan legislatif DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota nyatanya memunculkan kompleksitas tersendiri. Terdapat kesenjangan tingkat perhatian masyarakat antara pemilu presiden dan pemilu legislatif yang ditandai dengan banyaknya suara tidak sah dalam pemilihan legislatif. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, yakni yang pertama adalah bahwa kampanye pilpres jauh lebih dominan daripada kampanye pileg kendati demikian Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah membuat jadwal kampanye yang berimbang antara pilpres dan pileg. Figur calon presiden dan wakil presiden yang bertarung pun menjadi fokus utama dari masyarakat karena dinamika pilpres jauh lebih menarik ketimbang pileg. Kemudian desain pemilu serentak yang dipadukan dengan sistem proporsional terbuka pun berdampak terhadap teknis pemilihan yang membuat pemilih kebingungan.
Pemilu serentak 2019 secara keseluruhan memiliki 80 dapil untuk DPR RI, 272 dapil DPRD Provinsi, dan 2.206 dapil DPRD Kabupaten/Kota. Besarmya jumlah dapil dan alokasi kursi membuat pemilih tidak terlalu perhatian dengan perhelatan pemilu legislatif ketimbang dengan pemilihan presiden yang terdiri dari beberapa pasangan calon saja. Apalagi jika dilihat dari tampilan surat suara pilpres yang lebih sederhana dan to the point dengan foto pasangan calon yang mudah terlihat. Namun, ketika dihadapkan dengan surat suara pemilu legislatif, tingkat kesulitan pemilih untuk memberikan suara jauh lebih tinggi dengan jumlah nama dan foto yang cukup banyak dalam satu surat suara untuk menyesuaikan alokasi kursi per dapil. Hal ini lah yang membuat pemilih lebih mendahulukan untuk membuka surat suara pilpres terlebih dahulu. Jika merujuk pada survei LIPI pasca Pemilu 2019, maka sebanyak 77% responden mengaku memilih untuk mencoblos surat suara pemilu presiden terlebih dahulu dibandingkan surat suara pemilu legislatif. Asumsi yang timbul adalah dapat dikatakan jika pemilih mengalami kebingungan dalam melihat suara suara pileg ditambah belum memiliki pilihan, maka akan cenderung mengabaikan surat suara pemilu legislatif.
Pemberlakuan Parliamentary Threshold sebesar 4% nyatanya tidak berdampak terhadapupaya pergeseran sistem kepartaian dari multipartai ekstrim menjadi multipartai sederhana. Giovani Satori mengklasifikasikan sistem multipartai ke dalam dua bentuk yakni multipartai ekstrim yang terdiri dari lebih lima partai politik relevan yang memiliki pengaruh untuk menghasilkan kebijakan dan multipartai sederhana yakni terhadap 3-5 partai politik relevan di parlemen yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pembentukan kebijakan. Perbandingan jumlah partai politik yang masuk ke parlemen pada Pileg 2014 dan Pileg 2019 juga tidak memperlihatkan adanya keberhasilan untuk menyederhanakan sistem multipartai yang sederhana karena hanya ada satu dari sepuluh partai politik yang tereliminasi pada Pileg 2019, yang mana hal ini yang kemudian menjadi salah satu penyebab belum efektifnya pemilu serentak apabila dilihat dari orientasi terhadap upaya penyederhanaan sistem multipartai. Persoalan lain yang timbul dari desain keserentakan waktu antara pilpres dan pileg adalah beban kerja penyelenggara pemilu yang tak wajar, rumitya pendaftaran peserta pemilu, kompleksitas logistik pemilu yang menyebabkan surat suara tertukar, tumpang tindih kampanye pilpres dan pileg, serta tahapan perhitungan dan rekapitulasi yang memakan waktu lama.
Penyelenggaraan pemilu serentak sangat jauh dari tujuan yang diharapkan, yakni untuk menegaskan sistem pemerintahan presidensial dan efisiensi tata kelola penyelenggaraan pemilu. Kehadiran pemilu serentak dengan lima surat suara dengan konteks perbedaan dengan Pemilu sebelumnya justru menghadirkan problematika dalam pelaksanaannya yang kemudian menyebabkan pemilu di Indonesia semakin kompleks. Tujuan pemilu serentak belum sepenuhnya tercapai, penguatan sistem presidensial yang dikehendaki nyatanya tidak sebanding dengan sistem multipartai ekstrim yang terfragmentasi di parlemen. Kebingungan pemilih dalam memberikan pilihan dan masifnya perhatian yang hanya tertuju pada pemilihan presiden dan mengabaikan pemilihan legislatif dan Efisiensi yang menjadi tujuan lain pun tak tercapai karena biaya pemilu serentak 2019 memiliki total alokasi anggaran sebesar Rp25,12 triliun dengan rincian Rp9,33 triliun pada 2018 dan Rp15,79 triliun pada 2019 (belum termasuk persiapan pada 2017 Rp465,71 miliar). Hal inilah yang menjadi catatan penting pelaksanaan pemilu kedepannya.
Tantangan besar akan dihadapi pada Pemilu 2024 nantinya jika melihat dari penyelenggaraan pemilu serentak 2019 yang jauh dari harapan. Pelaksanaan aturan yuridis pemilu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 hanya bersifat menggugurkan kewajiban untuk menindaklanjuti putusan MK perihal pemilu serentak. Sistem pemilu yang dipilih hanya berdasarkan pada kepentingan untuk mempertahankan dan menambah kursi parlemen sehingga hasil dari sistem pemilu serentak tak terwujud. Desain pemilu serentak juga kontradiktif dengan variabel teknis kontruksi sistem pemilu yang implikatif terhadap waktu penyelenggaraan dan manajemen pemilu. Hal ini terlihat dari siklus pemilu serentak 2019 yang menyebabkan banyaknya petugas di lapangan yang meninggal dunia. Pelaksanaan pemilu serentak 2024 hendaknya tidak semata mempertimbangkan dimensi kompetisi untuk meraih kursi semata, namun harus menjawab tantangan bagaimana pilihan untuk pemilu serentak tersebut memberikan insetifitas terhadap efektifitas tata kelola sistem pemilu dan penyelengaraannya. Pemilu serentak tidak sepenuhnya buruk, namun diperlukan upaya untuk mewujudkan tujuan atas pelaksanaannya. Pengembalian sistem pemilu presiden yang terpisah dengan pemilu legislatif juga bukanlah pilihan yang tepat karena hal tersebut akan menciptakan kondisi divided government, yang mana presiden terpilih tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Hal ini turut berimplikasi terhadap kebijakan yang diusulkan oleh presiden yang berada dalam bayang-bayang fragmentasi partai politik di parlemen.
Ada berbagai cara yang dapat diupayakan untuk menciptakan pemilu serentak yang baik, salah satunya mengurangi besaran alokasi kursi tiap daerah pemilihan. Pengurangan besaran alokasi kursi per daerah pemilihan akan mempermudah kerja kampanye karena adanya penataan daerah administratif dalam satu daerah pemilihan. Pengurangan besaran alokasi kursi per daerah pemilihan ini akan berdampak pada penyederhanaan partai politik dengan cara yang kompetitif, bukan dengan cara yang pintas seperti halnya Parliamentary Threshold. Selain itu, penting kiranya dilakukan agenda reformasi manajemen pemilu yang terdiri atas optimalisasi rekrutmen petugas pemilu, penerapan standar tes kesehatan dalam rekrutmen petugas guna mengetahui batasan beban yang diberikan masih dalam batas kewajaran, lalu penyederhanaan perangkat administrasi dan penggunaan perangkat teknologi pemilu yang tepat guna sesuai dengan kebutuhan. Penggunaan teknologi dalam proses penyelenggaraan pemilu patut diperhatikan karena mampu menjadi instrumen untuk merespon persoalan dalam manajemen pemilu walau penggunaannya harus dipersiapkan secara matang. Keberadaanteknologi tersebut memang amat berarti, namun keberadannya harus dioptimalkan melalui pengaturan pada undang-undang pemilu.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
Buku
Pusat Penelitian Politik LIPI 2019, Survei Pasca Pemilu 2019: Pemilu Serentak dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: P2P LIPI.
Satori, Giovanni. 1976. Parties and Party Systems: A Framework of Analysis. New York: Cambridge University Press
Berita Online
Kementerian Keuangan, Ini Peruntukan Anggaran Pemilu 2019, https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-peruntukan-anggaran-pemilu-2019 Diakses 01 Juni 2023
Comentários