Advokat merupakan penasihat hukum yang berprofesi memberikan jasa hukum, baik secara litigasi (di dalam pengadilan) maupun non litigasi (di luar pengadilan). Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang selanjutnya disebut UU Advokat. Peran Advokat adalah sebagai pembela hak-hak klien dalam hal ini kerap membela “tersangka” ataupun “terdakwa”. Hal ini yang menimbulkan pertanyaan terkait apakah advokat memiliki kode etik seperti layaknya para aparat penegak hukum yang lainnya?
Kode etik tentu perlu dimiliki oleh seluruh aparat penegak hukum, advokat sekalipun. Namun, UU Advokat belum memiliki kode etik yang tegas yang harus dipatuhi oleh semua advokat. Namun, kode etik terkait advokat lebih banyak diatur oleh organisasi seperti perhimpunan advokat (PERADI) ketimbang Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI). Tetapi, Kode etik PERADI ini hanya berlaku untuk anggota dari organisasi itu sendiri dan bukan dari perundang undangan.
Walau memiliki kode etik, advokat memiliki hak “imunitas terbatas”. Yang berarti tidak bisa dituntut dengan cara perdata maupun pidana pada saat menjalankan tugas profesi dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di pengadilan hal ini dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya Pasal 16. Tetapi, jika seorang advokat melakukan pelanggaran hukum atau etika profesi serius maka perlindungan ini tidak akan berlaku.
Pelanggaran yang Dapat Dipertanggungjawabkan
Pelanggaran kode etik yang dapat ditindak secara hukum hanyalah pelanggaran kode etik yang serius. Beberapa contohnya meliputi:
Memberikan atau menyampaikan informasi yang salah dan/atau menyesatkan klien
Berperilaku buruk yang dapat mencoreng martabat profesi advokat
Melakukan pemalsuan bukti seperti dokumen dengan sengaja
Memalsukan keterangan dalam persidangan
Ikut serta dalam praktik suap yang dapat mempengaruhi putusan pengadilan
Perilaku-perilaku ini dapat mengakibatkan advokat dituntut secara pidana.
Bagi advokat menjaga profesionalisme sangatlah penting, kode etik advokat belum memiliki kekuatan hukum yang sama seperti hukum. Karena, kode etik ini hanya bersifat internal dengan tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat dengan standar etika yang berbeda-beda tergantung organisasi mana yang sedang menaunginya. Oleh karena itulah, advokat sangat diharapkan untuk bersifat profesional. Pada saat advokat melakukan pelanggaran tidak selalu mendapatkan denda pidana atau perdata tetapi mendapatkan sanksi administratif dari organisasi yang menaunginya.
Berdasarkan analisis Undang-Undang Advokat, dapat ditarik kesimpulan bahwa undang-undang tidak membuat penetapan secara khusus mengenai kode etik untuk penasihat hukum atau advokat di Indonesia. Ini lebih merujuk kepada pedoman internal yang dibuat oleh organisasi advokat itu sendiri, seperti PERADI, dan tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan UU.
Referensi:
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Kode Etik Advokat Indonesia, disusun oleh PERADI
Sunarjo. (2013). “Etika Profesi Advokat dalam Prespektif Profesionalisme Penegakan Hukum.” Jurnal Cakrawala Hukum, 18(2), Desember 2013. https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch/article/view/1242
Tumbur Ompu Sunggu & Tajuddin. (2023). “Kode Etik Advokat sebagai Dasar Itikad Baik Advokat dalam Menjalani Profesinya Tidak Dituntuk Pidana Maupun Perdata.” Yuriska: Jurnal Ilmu Hukum, 15(2), Agustus 2023. https://journal.uwgm.ac.id/index.php/yrs/article/view/2422
Comments