ALSA LEGAL AID #7
Pertanyaan:
Berdasarkan pertanyaan dari Saudara Bagas, untuk melakukan analisis hukum dalam permasalahan hukuman bagi seseorang yang berniat jahat dengan cara santet?
Jawaban:
Terimakasih atas pertanyaannya!
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami telah mencantumkan referensi kami dalam Lampiran 1. Meskipun demikian, Legal Memorandum tetap mengacu pada Asumsi dan Kualifikasi sebagaimana dalam Lampiran 2.
Hukuman yang diberikan bagi seseorang yang berniat jahat dengan cara santet.
Sihir merupakan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dengan menyediakan syarat-syarat tertentu, dibawah kondisi-kondisi dan persiapan-persiapan yang tidak wajar, dan dengan cara misterius. Hal itu dilakukan guna mempengaruhi seseorang untuk mencapai maksud-maksud tertentu yang diinginkan baik secara pribadi maupun orang yang memintanya.[1]
Kepercayaan masyarakat Indonesia mengenai santet sudah cukup kuat dan menjadi sebuah mitos tersendiri. Santet digunakan seseorang dalam rangka untuk mencari dan menuruti kepuasan yang bersifat pribadi dengan adanya rasa sirik, iri dan dengki untuk suatu tujuan tertentu seperti jabatan atau kedudukan, mencari suami/istri bahkan untuk menyakiti atau membinasakan orang.
Masyarakat Indonesia memang tidak asing dengan dunia klenik atau sihir, bahkan sudah menjadi rahasia umum dimana para artis dan pejabat kerap berhubungan dengan para dukun dan paranormal ataupun mendatangi tempat-tempat berbau mistis. Bahkan saat ini banyak paranormal yang secara terang-terangan mengiklankan diri melalui media cetak dan elektronik.
Salah satu klenik yang terkenal jahat adalah santet, walau hal tersebut sangat sulit dibuktikan secara logika dan ilmu pengetahuan. Permasalahan delik hukum untuk dukun santet ini sebenarnya sangat klasik. Disebabkan banyak orang telah menjadi korban main hakim sendiri oleh warga, serta tewas karena dituduh dukun santet.[2]
Pada hukum Islam, pelaku sihir atau santet tidak disebutkan secara jelas bentuk hukumannya baik dalam Al-Quran maupun Hadis, tetapi hukum melakukan sihir atau menyantet terhadap orang lain adalah kafir. Para jumhur ulama dalam objek kajian fiqh jinayah menjelaskan bahwa bentuk hukuman terhadap pelaku sihir atau santet dapat dikategorikan kedalam jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur oleh nash (Al-Quran dan Hadis). Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaannya ditentukan oleh penguasa setempat. Bentuk jarimah ini sangat banyak dan tidak terbatas, sesuai dengan bentuk atau tindakan kejahatan yang dilakukannya.[3] Bentuk hukumannya meliputi: hukuman mati, hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, dan sebagainya.
Untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana diperlukan adanya pembuktian, pembuktian dalam hukum Islam harus berdasarkan alat bukti yang sah dan meyakinkan. Dengan demikian, alat bukti adalah suatu upaya yang dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di muka pengadilan dan dipergunakan oleh hakim untuk memutuskan suatu perkara, sehingga alat bukti diperlukan oleh pencari keadilan maupun pengadilan. Menurut hukum Islam, alat bukti dalam peradilan pidana terdiri atas:[4]
1. Saksi
Persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafaz syahadat di depan pengadilan.
2. Al-Iqrar
Al-Iqrar adalah suatu bentuk keterangan ataupun pengakuan yang dilakukan oleh tersangka di depan persidangan.
3. Persangkaan/Petunjuk (Qarinah)
Qarinah adalah tanda-tanda yang merupakan hasil kesimpulan hakim dalam menangani beberapa kasus melalui ijtihad, sehingga tanda-tanda itu dapat menimbulkan keyakinan.
4. Qasamah
Qasamah yang bermakna sumpah, dapat diterapkan dalam praktik peradilan pidana Islam. Hal tersebut dimintakan oleh wali si terbunuh karena tidak diketahui siapa yang telah melakukan pembunuhan tersebut.
Dari beberapa jenis alat bukti tersebut, memang tidak ditemukan secara jelas dalam nash mengenai pembuktian terhadap sihir atau santet. Tetapi mengenai cara pembuktiannya para fuqaha memiliki argumen tersendiri diantaranya adalah menurut madzhab Maliki pembuktiannya dengan dua cara, yaitu dengan memakai bukti (bayyinah) atau pengakuan dari pelakunya (iqrar), sedangkan menurut madzhab Syafi’i pembuktiannya hanya bisa dilakukan dengan cara pengakuan dari pelakunya, sebab tujuan pelaku dan pengaruh dari santet adalah sesuatu yang tak dapat dilihat secara langsung. Selain itu, menurut ulama Indonesia, tindak pidana sihir hanya bisa dibuktikan dengan ikrar (pengakuan) atau yamin mardudah (sumpah balik), dan ikrar dari penyihir, apabila belum jelas apakah media sihir yang digunakan tersebut bisa melukai atau mematikan orang lain, maka efek media ini bisa ditentukan dengan persaksian dua orang saksi ahli dari mantan tukang sihir yang telah bertaubat.[5]
[1] Muhammad Isa Daud, Dialog Dengan Jin Muslim. Penerjemah Afif Muhammad dan Abdul Adhiem, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996). hlm. 143.
[2] Waskita Agung Nugroho, Skripsi: “Hukuman Pelaku Santet (Tinjauan RKUHP dan Hukum Pidana Islam” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2017), hlm. 33-35.
[3] Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I, (Jakarta: Hamzah, 2013), hlm. 4.
[4] Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian, cet I, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hlm. 185-194. [5] Waskita Agung Nugroho, Op. Cit., hlm. 44.
Lampiran 1: Daftar Pustaka
Muhammad Isa Daud, Dialog Dengan Jin Muslim. Penerjemah Afif Muhammad dan Abdul Adhiem, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996).
Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I, (Jakarta: Hamzah, 2013).
Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian, cet I, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012).
Waskita Agung Nugroho, Skripsi: “Hukuman Pelaku Santet (Tinjauan RKUHP dan Hukum Pidana Islam” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2017).
Comments