top of page

Peradilan Koneksitas tuh apa ya?

Berdasarkan Pasal 89 KUHAP, Peradilan koneksitas adalah sistem peradilan terhadap tersangka pembuat delik penyertaan antara orang sipil dan orang militer atau dapat juga dikatakan peradilan antara mereka yang tunduk kepada yurisdiksi peradilan umum dan peradilan militer.


Peradilan koneksitas diatur di dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi “Tindak Pidana koneksitas merupakan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali kalau menurut keputusan menteri kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.” Dengan demikian, maka sudah dapat dipastikan bahwa peradilan koneksitas pasti menyangkut delik penyertaan antara yang dilakukan oleh orang sipil bersama-sama dengan orang militer yang diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.


Dalam pelaksanaannya, terdapat peningkatan koordinasi antara polisi, jaksa, dan oditur militer untuk menangani kasus konektivitas, dengan penyidikan bersama oleh penyidik kepolisian dan militer, penuntutan dijalankan oleh jaksa dari kejaksaan negeri untuk terdakwa sipil dan oditur militer untuk terdakwa militer dan proses persidangan yang melibatkan hakim militer dan sipil menjadi lebih terstruktur (Utama, 2020). Beberapa kasus penting yang melibatkan unsur militer dan sipil telah diselesaikan melalui mekanisme peradilan konektivitas, menunjukkan efektivitas dari sistem ini. Meskipun demikian, masih terdapat tantangan dalam hal koordinasi antar lembaga hukum yang terlibat, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan oditur militer, masih menjadi kendala utama. Kurangnya panduan teknis yang rinci, dan kebutuhan pelatihan lebih lanjut bagi aparat hukum terkait proses konektivitas (Wibisono, 2021). Perkembangan ini menunjukkan adanya upaya serius untuk meningkatkan keadilan dan kesatuan hukum dalam menangani kasus yang melibatkan terdakwa dari unsur militer dan sipil, meskipun masih ada tantangan yang perlu diatasi.


Pada tahun 2006, terjadi kasus korupsi pengadaan helikopter MI-17 yang diduga merugikan negara sebesar US$ 3 juta. Kasus ini melibatkan Ginandjar Kartasasmita, mantan menteri pada era Soeharto yang juga tercatat sebagai anggota TNI, serta sejumlah pejabat di Pertamina. Dalam penanganan kasus ini, dibentuk Tim Koneksitas yang terdiri dari unsur Kejaksaan dan TNI untuk memberikan koordinasi dan percepatan penuntasan perkara korupsi yang melibatkan pelaku dari unsur sipil dan militer. Dalam penanganan kasus ini, Tim Koneksitas berhasil menangkap dan menjerat pelaku korupsi yang melibatkan anggota TNI dan kalangan sipil. Hasil penanganan kasus ini menunjukkan pentingnya peradilan koneksitas dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI dan kalangan sipil. Kasus Korupsi Pengadaan Helikopter MI-17 menunjukkan bagaimana korupsi dapat merugikan negara dan melibatkan anggota TNI dan kalangan sipil. Dalam penanganan kasus ini, peradilan koneksitas membantu dalam menangani


kasus korupsi yang melibatkan pelaku dari unsur sipil dan militer. Hasil penanganan kasus ini menunjukkan pentingnya peradilan koneksitas dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI dan kalangan sipil.


Referensi

Sabrina Septiana. August Hamonangan P. (2023). Kedudukan Peradilan Umum Dan Peradilan Militer Dalam Perkara Koneksitas Ditinjau Dari Perspektif Hukum Positif Indonesia, 3-7 diakses pada 3 Juni 2024.


Prasetyo, A. (2019). Implementasi Peradilan Konektivitas dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana oleh Oknum Militer dan Sipil di Indonesia. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 26(1), 45-62 diakses pada 30 Juni 2024.


Utama, B. (2020). Peradilan Konektivitas di Indonesia: Masalah dan Tantangan. Jurnal Hukum & Pembangunan, 50(3), 345-360 diakses pada 30 Juni 2024.


Wibisono, D. (2021). Koordinasi Antarlembaga dalam Peradilan Konektivitas: Studi Kasus dan Evaluasi. Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan, 7(2), 200-215 diakses pada 30 Juni 2024.

0 comments

Comments


bottom of page