ALSA Legal Aid Team 2022/2023
by: Yovie Agustian Pratama (2020) & Josua Orlando Manurung (2021)
Pasal 1 angka 1 UU Pornografi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Tindak pidana kejahatan pelecehan seksual melalui media sosial adalah suatu perbuatan atau tindakan yang berhubungan dengan tindakan asusila melalui sarana media informasi dan transaksi elektronik yang dapat menimbulkan trauma baik secara fisik maupun psikis. Tindak pelecehan seksual yang sering terjadi terhadap perempuan di media sosial dapat berupa rayuan, godaan, atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya yang dapat dilakukan dengan cara Chatting, komentar, Direct Message, mengirim foto atau gambar, video bermuatan seksual atau pornografi melalui media berupa WhatsApp, Instagram, Twitter, YouTube, Facebook, dan lain sebagainya.
Tindakan Penyebaran Konten Pornografi melalui Media Sosial memiliki potensi untuk dikenakan pidana. Seperti halnya dalam Undang-Undang ITE dan UU Pornografi Nomor 44 Tahun 2008. Pengaturan tentang pengguna pornografi dan/atau penggunaan pornografi diperoleh melalui penafsiran secara implisit. Penggunaan pornografi secara harfiah dapat dijelaskan dari kata kunci dalam undang-undang seperti “mendistribusikan, dapat diaksesnya, memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, menyaksikan pornografi”.
Dalam pasal 5 UU Pornografi dijelaskan bahwa seseorang dapat dikenakan pidana paling lama 4 dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar apabila orang tersebut nonton film porno atau mengakses situs bermuatan pornografi untuk mengunduh video yang mengandung unsur pornografi dengan tujuan meminjamkannya kepada orang lain. Pelaku juga dapat dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar apabila memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi, kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Mereka juga berpotensi untuk melanggar UU ITE pasal 27 ayat 1 yang melarang orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Dengan demikian, baik UU Pornografi dan UU ITE dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kejahatan pornografi yang menggunakan media internet. Meskipun demikian, pasal 282 KUHP juga masih dapat digunakan untuk menjangkau pornografi di internet karena rumusan pasal tersebut yang cukup luas, ditambah lagi pasal 44 UU Pornografi menegaskan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU tersebut. Berkaitan dengan tinjauan hukum terhadap OTT yang dilakukan kepada seseorang yang menonton video porno, akan dijelaskan terlebih dahulu perihal Operasi Tangkap Tangan. Dalam KUHAP, tidak dikenal istilah Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan yang ada hanya istilah Tertangkap Tangan. Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan dan membantu melakukan tindak pidana itu. Timbul suatu pertanyaan, apakah Operasi Tangkap Tangan (OTT) sama dengan Tertangkap Tangan. Perlu diketahui bahwa OTT adalah salah satu jenis operasi yang dilakukan KPK, sehingga otomatis istilah OTT ini hanya merujuk pada kasus korupsi yang merupakan kewenangan KPK. Istilah tertangkap tangan dalam KUHAP tidak mengacu pada satu jenis tindak pidana tertentu. Perihal seseorang yang menonton video porno lalu tertangkap tangan oleh polisi, maka dapat dianalisis dalam berbagai perspektif yang mengacu pada landasan yuridis yakni UU Nomor 44 Tahun 2008 Pornografi. Jenis larangan yang diatur dalam undang-undang ini adalah memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan jasa pornografi. Pada pasal selanjutnya, juga dikategorikan beberapa larangan kepada tiap individu yang meminjamkan, mengunduh, memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, menyimpan produk pornografi. Setiap orang juga dilarang mendanai, menjadi model porno dan mengajak orang lain, mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan pornografi serta melarang keterlibatan anak dalam pornografi. Tidak dicantumkan secara implisit tentang seseorang yang hanya menonton video porno, apakah dapat dipidana atau tidak. Maka dari itu, terhadap pertanyaan yang saudara ajukan akan ada dua perspektif yang merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pertama, undang-undang ini memang tidak secara gamblang menyebut tindakan “menonton” video porno adalah sebagai tindakan yang dilarang sehingga apabila ada seseorang yang tertangkap tangan ketika menonton video porno, maka tidak dapat dipidana. Ditambah saat ini konten-konten porno tersedia di sosial media yang dapat langsung dilihat secara langsung. Kedua, apabila merujuk pada proses mendapatkan video porno tersebut yakni dalam hal ini jika melihat ketentuan Pasal 5 undang-undang ini, maka seseorang yang “mengunduh” konten porno, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Dengan mengunduh konten porno yang ada, sudah barang tentu hasrat menonton konten tersebut juga mengalir. Maka dari itu, pada pernyataan yang kedua ini berpandangan tidak hanya pada “menonton” saja, namun juga terhadap tindakan lain yang berkorelasi baik sebelum atau sesudah tindakan “menonton yang dimaksud”. Namun saat ini, upaya tertangkap tangan tersebut tidak dapat dilakukan layaknya kejahatan lainnya karena cyber juga berperan dalam hal ini, mengingat konten porno yang ada tersedia di dunia maya sehingga sangat mudah untuk diunduh.
Sumber Hukum:
Pasal 1 Angka 19 KUHAP
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 44 Tahun 2008
Pasal 4 Ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008
Pasal 31 UU Nomor 44 Tahun 2008
Referensi:
Irawan, Yusuf. Undang-Undang Pornografi. Mocopedia. Jakarta. 2008. Hlm. 5
Suci Rahmadani. Aspek Hukum Pidana Penyebaran Pornografi Melalui Media Internet. Palu:Universitas Tadulako. 2009. Hlm: 47
Comments